Jumat, 30 Desember 2011

Surga di Telapak Kaki Gunung Karst

Dengan tatapan nanar saya melihat mereka satu per satu, mereka adalah teman-teman saya yang sedari tadi sudah ribut ingin pergi ke pantai, dan membangunkan saya dari mimpi saya tentang sebuah perjalanan sejarah ke Papua(itu Mimpi..!). 
Di dalam kamar mandi saya sudah menggerutu dan entah harus marah kepada siapa, kalau benar saja hari itu jadi pergi ke pantai, saya jelas saja tak akan pernah mau ikut. Bosan!
Tapi, hari itu Tuhan memang sedang baik, Ia menunjukan lukisan alamnya lewat internet pada saya, dan menyarankan untuk pergi kesana. Akhirnya hari itu kami tidak jadi ke pantai, melainkan menikmati karya Sang Maha Pencipta di sebuah perbukitan karst di Gunung kidul.


(Gua Pindul)



Kami putuskan untuk berangkat pukul 9.30 pagi, dari jogja kami berangkat, diperkuat oleh manusia-manusia tabah yang sudah mulai hilang kesadaran ketika harus mencari jalan ke tujuan (Gua Pindul). Setelah cukup lama mencari, akhirnya kami sampai pukul 11.30 di sekertariat Wira Wisata Gunung kidul.

25 ribu segera saya keluarkan dari dompet usang yang hanya berisi 40 ribu, dan saya bayarkan langsung ke sekertariat. Bersama-sama kami segera bersiap-siap dengan segala perlengkapan yang diperlukan. 

(we're Ready!)

"Wira Wisata??  Yess..!" Teriakan yel itulah yang memulai perjalanan kami untuk segera menyaksikan keindahan di dalam gua yang sedang gencar dipromosikan di media massa. Setapak demi setapak saya langkahkan hingga akhirnya sampai di bibir gua Pindul. Jalan memang sangat licin karena usai di guyur hujan semalam suntuk dan air pun sangat keruh tetapi hal itu tak menyurutkan niat kami ber 6.

(Mengucap permintaan terakhir sebelum masuk ke gua)

Pemandu mulai menerangkan beberapa keunikan setelah kami beberapa meter masuk ke Gua, tentang terbentuknya gua, kandungan mineral dalam batu, hingga kedalaman air yang ada di dalam gua. Ahh.. kami akan berlibur pak, jangan ingatkan kami dengan teori-teori yang selalu menguras keringat untuk mempelajarinya! 
"basah gak pak?", "ada buaya gak pak?", "kalo banjir gimana pak?", ahh.. banyak cakap kalian, kunthi,puspa,fera! sudah kita mau berlibur cing, jangan pikir macam-macam, saya jadi ikut ragu to? haha, 
Pemandu kami tampaknya memang harus kerja lebih keras menangani orang-orang bawel seperti mereka, saran saya mintalah honor lebih pak, dan berceritalah apa yang baru saja terjadi kepada atasanmu!
Oh Tuhan, kau ciptakan berapa ratus ribu jiwa orang-orang seperti teman saya macam ini?. hahaha.

Ketika kami masuk, stalagtit dan stalagmit telah menyambut kami seolah mengucapkan ucapan selamat datang dengan tetesan air yang mereka jatuhkan tepat ke atas ubun-ubun kami.  dan kami terus masuk ke dalam perut gua. Disini di namakan Zona Terang, karena kita masih bisa melihat kanan kiri kita.

(dinding-dinding gua)

Dinding-dinding gua dan stalagtit yang eksotis segera kami nikmati, dan malah kami tidak memperhatikan apa yang pemandu terangkan, hingga mereka mulai bosan menjelaskan. Ban segera melaju seraya mengikuti kemana sang pemandu bergerak. Hingga akhirnya sampai ke batu yang saya tunggu, yaitu : 

(batu perkasa)

jika kalian menilik dari segi bentuk, pasti kalian tahu kan bentuknya seperti apa? haha.. Menurut mitos yang berkembang, jika kalian hey.. para pria yang rindu akan keperkasaan, segeralah kau sentuh dan rasakan, apakah kalian akan menjadi perkasa? haha, itu hanya mitos, terserah kalian bagaimana menyikapinya.

(batu tetesan mutiara)

Setelah para kaum adam marjinal kami di puaskan dengan segala keelokan batu perkasa, ternyata para hawa pun segera disuguhkan oleh batu tetesan mutiara. Mitosnya lagi, jika kalian para hawa tertetes air dari batu ini, maka kalian akan terlihat lebih cantik dan awet muda. Segeralah, mendengar kata awet muda, Fera, Kunthi, dan Puspa tak sabar mendekati batu tersebut, mereka pegang, dan raba-raba berharap air akan keluar. Tapi, tak ada yang keluar, mereka hanya termenung dan kecewa. Sabar bray, kalian memang belum ditakdirkan untuk bisa mendapatkan air awet muda itu!. Banyak-banyak datang kesini lah!. 

"Oke, sekarang kita memasuki Zona gelap abadi!, disini banyak sekali kelelawar, dan terdapat pula stalaktit terbesar ke 4 dunia" Begitulah pemandu menjelaskan. 
(stalagtit terbesar ke 4 Dunia)


Setelah lama kami mengotak-atik ke dalam gua, saatnya kita masuk ke zona terang, disini terdapat ligkaran di atas gua, sehingga sinar matahari bisa masuk ke dalam. Disini kedalaman air cukup dangkal, walaupun masih terdapat beberapa yang dalam. Saya sedikit kecewa, coba saja kami berangkat lebih pagi, mungkin sinar akan terlihat indah dan tidak panas. Jadi saya menyarankan, datanglah pada jam 9-11 pagi, karena sinar matahari belum terlalu terik.

(atap gua yang berlubang)

disini kami mengumbar masa kecil yang kurang bahagia, meloncat, bermain air, seolah memperlihatkan bahwa tingkah pongah kami belum hilang. Jika kalian kesini, mintalah pada pemandu untuk berhenti sebentar, sempatkanlah berfoto atau melepas masa kecil anda yang masih terperangkap dan bermainlah sepuasnya.





belum selesai menikmati keelokan gua, ternyata kami telah sampai ke pintu keluar gua, perjalan 60 menit tak terasa kami lewati. Sampai di luar, kami disambut oleh bendungan yang di bangun pada jaman kolonial dulu. Dan perjalanan kami bermuara sampai di situ.

(pintu keluar gua)


****

Hari itu kami menyelesaikan petualangan pertama kami dengan sukacita, walaupun rasa capai menghinggapi, kami tak pernah merasa benar-benar rugi untuk sekedar berjalan-jalan menyusuri lukisan sang Pencipta. Meski kami harus menempuh jalan pulang yang lumayan jauh, serta rasa kantuk yang amat sangat, setidaknya kami berhasil membuang penat dan segala urusan-urusan kami.


Jogjakarta, 30 Desember 2011
sambil dengar : lyrnyrd Skyrnyrd "free bird"


1 komentar:

  1. wah...
    i like it...;) bagus lho mas Bro cerita km..
    bakat nih.. :)
    aku aja yg baca jd ketawa" sndiri..hehhe
    wah,akan terkenang selamanya nih cerita dan pengalamanny...
    thanks a lot... :)
    karna udh mau ajak aku jalan",bsk lagi yaa....:)

    BalasHapus