Kamis, 19 April 2012

Little Trip to Madura





text : Titus Abimanyu
Photo : Bennarivo & Titus Abimanyu


Tuh kan! Apa saya bilang! Sejatinya Madura itu kerennya minta ampun! Ternyata kita sudah tak adil memandang mereka secara stereotip. Watak orang Madura yang keras sama sekali tak saya temui di Pulau terbesar di jawa timur ini. Intinya, saya berkeliling dari kamal - Sampang selama 10 jam saja!

Langit Tanjung Perak kala itu cerah sekali, hal itu jelas mendukung niat saya untuk mendekati pulau Madura dengan kapal Feri. Berangkat sekitar pukul sembilan dua puluh menit,menaiki kapal yang penuh sesak dengan penumpang dan berdesak-desakan di atas kapal. Dua puluh menit sudah saya di atas kapal, akhirnya feri yang saya naiki bersandar di Kamal, Madura. Kamal ini merupakan ujungnya Madura, berbatas langsung dengan selat Madura.


Sekitar dua jam lebih tiga menit saya akhirnya menginjakan kaki saya di terminal Sampang. Keburu waktu yang semakin siang, saya langsung melanjutkan perjalanan suci saya naik angkot jurusan Ketapang. Perjalanan menuju Ketapang memang lumayan lama, apalagi naik angkot, wahh.. sekitar dua jam. 50 kilo saya tempuh sambil sekali sekali ngomong-ngomong dengan pak Rafi'i, sopir angkot Madura yang berperawakan tinggi sekitar 1,7meter, berpecis putih, berkulit hitam, perut buncit,berkumis tebal dengan logat Madura yang super kental. "saya juga asli Ketapang dek, Ketapang barat lah itu" setelah bicara, pasti ia mengakhiri dengan ketawa.Orang Madura yang satu ini sepertinya ingin menunjukan pada saya bahwa orang madura itu ramah minta ampun!

dua jam itu ternyata sangat cepat kalau di Madura. Bagaimana tidak, jangankan mau ngomong bosen, mau tidur saja rasanya tak rela untuk meninggalkan keindahan pulau yang terkenal dengan karapan sapi ini. Hamparan pantai di sebelah kiri membuat saya semakin menyesal hanya merencanakan ke madura selama sepuluh jam saja.




Setelah kira-kira dua jam, akhirnya saya sampai di Ketapang timur, sebuah desa di pesisir bagian timur sekitar 4 kilo dari ibu kota kecamatan. Angkot pak Rafi'i berhenti di sebuah warung di pojok pertigaan. Di sana saya beristirahat sebelum melanjutkan kembali perjalanan. Suasana hangat sehabis hujan yang diciptakan masyarakat Madura membuat saya betah duduk berlama-lama disini. Saya bertemu dengan Pak Mustari, seorang pegawai pemda di Ketapang. Pak Mustari banyak cerita tentang Madura, dia cerita ternyata terdapat pantai yang sangat indah disekitar kami beristirahat. Pantai yang terkenal dengan air terjunnya bernama Toroan. "Disana dulu sempat ada orang yang hilang dek, gara-gara dia mandi pas di bawah air terjun. Di bawah air terjun itu kan ada lobang, dia kayaknya tertarik arus masuk ke lubang itu." Sambil meneruskan ceritanya, ia menyeruput kopi hitam panas yang dipesan. Pak Mustari cerita banyak sekali, dari investor yang belum tertarik dengan potensi alamnya di Ketapang, sampai-sampai watak orang Madura.
 "ahh... omong kosong itu kalau orang Madura itu keras! Itu dulu kalau kamu hidup di jaman saya, itu bahaya, tapi sekarang udah gak ada itu!" 
"Orang Madura itu Angkuh, berkemauan keras, Egois!" Seorang supir angkot bermata sipit dan mirip dengan orang Cina, tiba-tiba menyahut sambil mengacungkan ibu jari, jari telunjuk,dan jari kelingking sehingga membentuk lambang musik metal dengan tiga jari.
pak Mustari

Air es teh yang saya pesan telah surut, langit Madura kala itu juga sudah mulai terang, dan matahari yang sudah mulai lemah akhirnya memaksa saya untuk melanjutkan perjalanan saya ke Toroan. Sekitar 2 kilo ke arah timur, akhirnya saya sampai juga di sebuah ceruk pantai mini yang lumayan keren.Kalau dilihat dari jalan, air terjunnya tidak kelihatan, yang terlihat hanya penambang pasir dengan gubuknya serta pantai dengan pasir hitam yang kala itu sedang pasang. Untuk mencapai air terjunnya, saya harus berjalan ke arah barat, mepet-mepet supaya celana tak kena air. Tapi ketika sampai tempatnya, wuiihhh.... keren sekali! Air terjunnya memang tidak begitu tinggi, kira-kira hanya enam meter, tapi lebar dengan air yang langsung terjun ke laut. Dengan batu-batu karang di sekitarnya, dan berpadu dengan rimbunnya pohon melengkapi keindahan Toroan ini. Pesona pantainya memang tak seberapa, tapi primadona yang menjadi luar biasa adalah air terjunnya itu. 




pantainya juga bersih dari sampah rumah tangga, sampah-sampahnya hanya sampah organik. Airnya tenang, gak ada ombak sama sekali. Warna airnya biru tua, tapi di bibirnya keruh, karena sudah di keruk untuk penambangan pasir. Di sebelah baratnya ada sebuah gua kecil, saya sempat ingin mencoba, tetapi saya ragu. Jangan-janga gak keluar lagi, kan bahaya toh?






Satu jam tak terasa telah berlalu, saya kembali ke pangkalan angkot, untuk pulang kembali ke Kamal. Selama perjalanan saya habiskan untuk tidur. Setelah sampai di Kamal, hari sudah petang, kira-kira sekitar pukul enam sore. saya langsung menyebrang dengan Feri untuk kembali di Tanjung Perak dan segera naik ke atas kapal, mencari tempat duduk di dekat jendela.





Madura memang pintar untuk menorehkan cerita-cerita bagi para pengunjungnya. Segala pandangan stereotip terpenggal seketika saat kalian berkunjung ke Madura. Jika kalian ke Madura, saya menyarankan, untuk menaiki kapal Feri. Pemandangan selat Madura sungguh indah dipandang mata, apalagi saat petang.

Hail Backpacking!

Thanks To :
Pak Rafi'i, angkot Sampang-Ketapang, yang mau mengantar saya sampai Ketapang  bahkan hingga Toroan.
Pak Mustari Santoso, pegawai pemda yang mbayari saya es teh manis.hehe.. Tau saya musyafir kere ya pak?
Canon EOS 1000d + lensa udik 18-55 IS yang tercinta, Tas merk SPORTS yang sobek-sobek, Pak penambang pasir yang meneriaki saya untuk jangan nyebur. 
Terimakasih yang teramat sangat pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan Madura begitu indah beserta Isinya.

Rabu, 18 April 2012

Nasi Rawon



Saya baru pertama kali makan nasi rawon. Kata orang, kalo mau mencicipi nasi rawon yang enak, kalian harus pergi ke Surabaya. "Asal yang jual orang Surabaya, pasti rawon nya enak!" kata teman saya sedikit meyakinkan.

Kebetulan saya sedang berada di Surabaya, saya coba mencicipi nasi rawon di sekitaran stasiun Gubeng Surabaya. Warungnya kecil, dengan kursi plastik yang berjajar dengan posisi menghadap ke jalan Gubeng. Saya langsung pesan nasi rawon dengan segelas es teh manis. Setelah sekitar 10 menit, pesanan saya datang. Dengan kuah hitam mirip tongseng serta ditambah daun jeruk dan bawang goreng sebagai balancing, dan tauge sebagai perias akhir. Bau lengkuas yang harum sempat memenuhi rongga hidung saya. 

Suapan pertama saya coba kuahnya dahulu, wuiih.. perpaduan antara keluwak, bawang, dan lengkuas yang merata langsung masuk lancar ke perut saya. Selanjutnya saya coba dagingnya, bumbu bawang perai dan daun jeruk meresap masuk kedalam daging. Dagingnya yang empuk, juga membuat saya menjadi mudah mengunyah dan anti selip di gigi. 

Renyahnya tauge dan bawang goreng juga beradu masyur masuk ke dalam mulut dan terunyah dengan rata hingga masuk dengan damai kedalam perut. 

Akhirnya, perut sudah terisi penuh, dan sembari saya masuk ke dalam stasiun untuk kembali ke Jogja.

delicioso!

Cheng Ho mosque, Muslimnya kental, Tionghoanya juga

Seorang teman menyarankan saya untuk mengunjungi masjid tionghoa di Surabaya. Pertama saya pikir adalah masjid di sekitar komplek pecinan yang sebetulnya biasa saja. Tetapi karena dia sangat "ngotot", ya akhirnya saya turuti, toh tak ada ruginya pula. 

Masjid Cheng Ho, terletak 1 kilo dari Balaikota Surabaya. Tepatnya jl Gading no 2 Surabaya. Masjid ini dibangun atas prakasa beberapa sesepuh setempat. Masjid ini dibangun untuk menghormati Laksamana Cheng Ho, seorang Cina beragama Islam.  Dibangun dengan arsitek bernama Ir. Abdul aziz dari Bojonegoro.
Arsitektur masjid ini bergaya Tiongkok lama dengan dominan warna merah, Hijau, dan kuning ini memiliki pagoda di atasnya. Terdapat Relief naga dan singa dari lilin dengan lafaz Allah. Seperti pada umumnya, masjid ini juga di lengkapi dengan bedug.