Sabtu, 15 Februari 2014

Kunang-kunang dan kenangan

Berbicara tentang kunang-kunang, Saya dulu begitu suka kunang-kunang, di desa simbah, masih sangat banyak kunang-kunang. Selepas magrib, saya pasti keluar rumah membawa plastik yang sudah dilubangi sebagai ventilasi sambil menunggu dibawah pohon sawo di kebun. Saya begitu percaya bahwa kunang-kunang adalah jelmaan kuku orang mati, dasar anak kecil ingusan, bukannya takut, malah saya mencari kemana hewan bercahaya itu berkumpul. Dahulu, saya memandangi mereka bisa sampai ber-jam-jam dengan pikiran yang mengawang.
Tapi entah sekarang, populasi mereka semakin memburuk, apalagi di kota besar, mungkin mereka sudah tak ada. Mungkin tak ada lagi tempat hijau, atau tak ada terlihat karena kalah dengan cahaya-cahaya sekitar yang terang, hmm... atau jaman sekarang, orang mati kukunya sudah dipotong habis? ahh,, entahlah.

Tak ubahnya kenangan, ia juga datang dan dicari, juga banyak diIlhami, bentuknya sama dengan kunang-kunang, mereka bercahaya ketika gelap. Saya memandangi mereka dengan pikiran mengawang, jika baik, ingin sekali kembali ke masa itu, dan jika buruk, boleh lagi kembali dan memperbaiki. Kenangan juga punya masa, mereka tak selalu hinggap terang di nirwana hati. ketika terjadi yang lebih indah, mereka akan bergeser dan memberi tempat kepada yang baru datang. ahh... sungguh mulia mereka. Semuanya tergantung bagaimana semua di taruh. Sama pula seperti kunang-kunang, ketika mereka ditaruh dengan benar, mereka akan tetap bercahaya, mungkin sejenak menghilang. tak lama mereka terang kembali. Tetapi jika terbiarkan populasi mereka padam dan hilang.



Jogyakarta, 16 Feb 2014
-Dialog dini hari-
beranda taman hati

Abu-Abu


" Jogja Monochrome" 
kata seorang teman di dalam kereta

punggawa ketika tiba :D

Mobil di pacu pada dini hari kemarin, saat itu lagu payung teduh berputar sendu melewati kota Pasuruan. Mata kami masih lengket tetapi tetap harus dipaksa, kami harus mengejar kereta yang sekarang disiplin. Memang, KAI menerbitkan perubahan yang semakin kentara. Semua terlihat lelah, tetapi tetap berusaha terjaga, seolah ingin mengumpulkan lelap untuk dibuang di dalam kereta.

Tetiba, jalanan mendadak berkabut, jarak pandang terbatas, mobil di gas perlahan mengikuti mobil di depan, kami mulai menerka, ada apakah? beberapa dari kami bilang berupa debu proyek, tetapi kemudian itu dipatahkan kabar dari Kelud bahwa abunya  beriring jatuh ke barat. Semua berubah kelam, terlihat seperti model sepia  pada aplikasi foto.

Pagi kali ini tak biasa, semuanya masih gelap, hingga keadaan sedikit reda di Surabaya, di sana hujannya lumayan tipis, tapi lumayan berdebu pula. waktu masih menunjukan 06.40. Beberapa dari kami mengembalikan mobil dan sebagian dari kami beristirahat di serambi stasiun Gubeng. Sesekali meng-update  informasi, beberapa sibuk bertanya keadaan Jogja. Kami semua sibuk bercerita tentang Kelud.

***

kata orang kehadiran gunung 1730m ini ada kaitannya dengan lembu Sura seorang tokoh legenda yang mewarnai Kabupaten kediri, Beliau pernah mengutuk : 

"Yoh, Kediri mbesok bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping, Yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, lan Tulungagung dadi kedung" 

ada cerita bahwa Lembu Sura melamar seorang putri Dyah Ayu Pusparani, putri seorang penguasa Majapahit. Karena tak sesuai harapan, sang putri menolak dengan cara halus. Tak beda dengan Roro Jonggrang cerita Prambanan, sang putri minta di buatkan sumur dalam semalam.

Karena perkembangan yang tak dikira sang putri, Ia mulai panik dan menangis. Raja yang merasa iba segera mengutus para prajurit untuk menutup sumur yang tengah digali sang Lembu. Mereka melempari batu dan menutup lubang-lubang. Sang Lembu meminta agar tidak ditutup, tetapi mereka tetap mengurug  bahkan semakin cepat supaya sang Lembu tidak segera naik. 

Tahu permintaannya tak di gubris, Lembu Sura mulai mengeluarkan "sepatannya" hingga lahirlah gunung Kelud dengan letusan yang menggelegarnya.

terlepas dari legenda ini, ternyata Kediri memiliki 11 kali, sementara Blitar merupakan daerah datar yang dikelilingi sungai dan danau, serta Tulungagung memiliki bendungan Wonorejo. Adakah kaitannya?


***

Suasana dalam rana


Kereta telah tiba, tetapi beberapa teman kami masih belum kembali dari rental mobil, sebagian kami tetap tenang dan mencoba menelfon mereka. Hingga akhirnya waktu menunjukan 07.55, mereka belum juga kembali. Ada yang panik, berusaha melobi petugas hingga berusaha menghubungi mereka. 
Dari jauh, 3 orang berlari tergopoh-gopoh menuju pintu kereta terdekat, segera masuk dan priiit  kereta diberangkatkan. Semuanya lega, sekaligus tak tega melihat mereka, tapi mau apa, begitulah yang terjadi. 
ah sudah, lupakan...

Kereta berangkat ke barat, diluar abu telah menyelimuti, walau tergolong tipis, kereta kami berselimut debu. Hingga akhirnya kereta terus ke barat, abunya tak disangka malah semakin menjadi. Banyak yang masuk melalui celah atas dan bawah kereta kami. Di dalam berdebu.

Singkat cerita, kami sampai di Jogja, abunya begitu tebal, banyak yang beranggapan lebih tebal dari Merapi kemarin, ahh.. tidak juga.. tetap sama. Jogja begitu berbeda, serasa kami seperti kembali di era Majapahit sesaat sebelum di hancurkan gunung Kelud pada legenda yang lain. Warnanya monochrome, benar kata seorang teman di kereta tadi. Abu di mana-mana jarak pandang terbatas, kota ini begitu lumpuh. Tapi tak mengapa, karena ini merupakan konsekuensi tinggal di negara super kaya, Indonesia. Ya toh?

-Jogjakarta, 15 Februari 2014-
ditemani "Diujung malam"
-payung teduh-