Kamis, 30 Mei 2013

Maria Tritis : The Tranquil Place





Saya begitu percaya bahwa tempat tempat seperti gua atau hutan yang sepi 
memiliki aura-aura yang mengundang kita untuk merenung dan meneduhkan diri
 kepada Tuhan yang esa.Aura spiritual seperti ini selalu membuat saya "nagih" ketika pulang ke rumah, seakan selalu ingin kembali kesana.

***

Selalu, saya kalau ada "janji" dengan hati, pasti harus ditepati. Sama seperti kali ini, hati saya sedang galau, sepertinya sedang banyak hal personal yang harus diceritakan. Saya sudah lama berjanji untuk mengajaknya ke tempat yang baru. Dan kali ini saya menepatinya, saya mengajak ke Gua Maria Tritis.



Tempat ini terbentuk bermula ketika Romo Hardjosudarmo SJ yang menjadi guru di SD Sanjaya di dusun Pengos kecamatan Paliyan merayakan misa natal bersama para murid-murid sd nya di halaman sekolah pada tahun 1975. Pada saat itu romo menyiapkan hiasan gua yang dibuatnya dari kertas, dibantu beberapa murid sd. Seorang anak sd yang baru saja datang tiba-tiba nyeletuk " Romo, tidak usah repot-repot buat gua pakai kertas, di tempat saya ada yang asli, ada gunung growong romo (gunung yang berlubang)." 
Singkat cerita, diantarkannya Romo oleh si murid tersebut ke lokasi. Ketika sampai, Romo langsung terkejut melihat pemandangan yang ada di depan matanya.Seketika itu juga Romo berniat untuk menjadikan tempat ini menjadi tempat berdoa seperti sekarang. Setelah beberapa kali berembug, akhirnya tercapailah keinginan Romo untuk menjadikannya tempat berdoa bagi umat katholik, sehingga pada 1979 gua ini diresmikan oleh Romo Lamers SJ dan diletakannya Patung Bunda Maria tepat di dalam gua.

Tempat yang menyatu bersama pegunungan karst ini berjarak sekitar 60 km dari kota Yogyakarta. Tak ada petunjuk jalan khusus ketika kalian masih di kota Wonosari, sehingga kalian perlu sedikit "ngoyo" tanya sana-sini untuk mencapai tempat ini.

Beberapa ratus meter saya berjalan, akhirnya sampai di intinya tempat ini. Tepat di depan mata saya,  Tuhan Yesus yang disalib hadir diatas batu-batu besar di dalam gua, walau sedikit terdapat bercak hitam lumut disekitar patung.saya masih ingin lanjut kedalam, mencari sang Bunda, dan mengheningkan diri disana. 




Setelah saya beberapa langkah masuk kedalam, saya kemudian menepi, mencari senderan yang leluasa dan duduk merenung menghadap sang bunda Maria. Gemerlip cahaya lilin yang tertiup angin bergerak-gerak seolah ikut membantu saya memberikan rasa fokus merasakan sang Bunda yang hadir menyapa umatNya di sana. Saya merenung dan mengadu kepadaNya, pada saat itu banyak orang yang berada di sana, dengan rosario di tangan, mereka memanjatkan ujub mereka pribadi, ada yang merenung memandangi wajah Bunda Maria, ada juga yang berdoa secara bersama-sama. Semuanya hanya satu tujuan yaitu memuliakan Sang Bunda Maria. 

Di Area inilah saya berbicara secara pribadi kepadaNya, sambil melihat beberapa orang yang mondar-mandir menaruh lilin, serta beberapa lainnya menepuk kaki sang bunda sambil membuat tanda salib.

Gua Maria Tritis memang menawarkan, bahkan memaksa orang untuk bersedia menyepi dan merenung bersama Tuhan. Dengan menyiapkan tempat yang teduh, Ia membuat hati ini merasa nglangut, sehingga Ia datang dan menemani  melalui ruang hati umatNya.

***

Tuhan barangkali menyukai tempat yang teduh dan hening, sehingga Ia lebih leluasa menyapa umatNya. Ia hadir dalam khusyuknya doa Yesus di taman Getsemani, Ia juga hadir dalam semedi Siddhartha Gauthama di pohon Bodh Gaya. Melalui utusanNya Ia juga hadir dalam iktiaf Nabi Muhammad di Gua Hira. Sungguh Tuhan memang selalu nampak pada kesyahduan hati umatNya.



Yogyakarta, 31 Mei 2013:)