Rabu, 21 Maret 2012



"Bali memang tak henti-hentinya menorehkan cerita kepada siapapun yang kesana.
 Begitu juga dengan saya,
 kunjungan study ke Bali dari sekolah membuat saya lebih percaya 
kalau Bali itu benar-benar indah."

Sebenarnya travelling menggunakan travel agent adalah sesuatu yang sangat buruk, karena hanya mengunjungi tempat yang sudah benar-benar umum dan touristy. Tetapi apa boleh buat, karena ini adalah acara sekolah, ya saya turuti saja apa kemauan travel agent, walau hanya untuk kali ini saja!.

Langit kala itu sedang mendung berat, bis yang saya tumpangi beranjak menaiki bukit. Sedikit terengah-engah, bis tetap dipaksa melaju hingga sampailah di sebuah tempat yang banyak menjual berbagai pernak-pernik souvenir daerah khas bali. Tempat ini bernama Bedugul. Begitu saya turun dari bis, pertama kali yang saya tuju adalah sebuah danau. Danau ini menurut warga sekitar bernama Beratan. Mungkin dari kata keberatan nama danau ini diambil. Tapi, keberatan kepada siapa? haha, saya juga kurang tahu. 
Ditengah danau ini terdapat sebuah Pura tempat pemujaan Sang Hyang Dewi Danu sebagai dewi pemberi kesuburan. Pura ini bernama Pura Ulun Danu. Sayang saja, saya tak sempat kesana, karena cuaca mendung dan tour leader saya yang sudah teriak-teriak menyuruh kami masuk kedalam bis. Sekali lagi, perwujudan traveling menggunakan travel agent adalah mimpi buruk! Huuh!

Mau tak mau saya yang notabene adalah peserta, harus kembali menaiki bis menuju ke bawah bukit. Waktu itu cuaca masih mendung berat. Cenderung hujan malah. Bis dipacu ke arah bawah bukit. Saya yang sudah ngantuk berat, tergulai lemas juga di atas kursi bis.

2 jam kemudian, saya melihat plang jalan menuju Tanah Lot. Berarti bis ini akan dipacu menuju Tanah Lot bukan? Jelas lah!
Melihat parkirannya, saya sudah benar-benar ingin tinggal di bis saja. Ramai sekali, saya sudah tak ada niat berwisata. Tetapi karena ini adalah tuntutan untuk membuat laporan, akhirnya turun juga kaki saya di Tanah Lot. Kita akan dituntun untuk berjalan sekitar 200 meter menuju pantai, dengan pemandangan kanan-kiri outlet baju ternama export. Setidaknya kalian akan merasa berjalan di Bandung, bukannya di Bali. 
Setelah kira-kira berjalan, kalian akan disambut oleh sebuah gapura besar. Ini adalah pintu masuk Tanah Lot.



Kemudian sebelah kanan kalian ada sebuah pura, tapi ini bukan pura utama. Pura yang utama terdapat di tengah laut. Di bibir pantai terdapat pula sebuah batu karang yang di tengahnya terdapat gua besar. Di sebelah utara Pura Tanah Lot terdapat sebuah pura yang menjorok ke laut dan terletak di atas tebing. Tebing ini menghubungkan pura dengan daratan dan berbentuk seperti jembatan yang melengkung. Jika kalian beruntung, kalian dapat melihat matahari terbenam tepat di lobang tebing tersebut. Ini terjadi pada saat matahari tenggelam condong ke utara. Saya saat itu memang benar-benar tak beruntung, selain mendung yang menutupi matahari sehingga tak terlihat kapan hilangnya, saya harus beberapa kali terpeleset di tempat yang sangat licin ini.

Keesokan harinya, cuaca cukup cerah. Secerah hati saya untuk menyusuri bali pagi itu. Perjalanan kali ini kami akan berkunjung ke Tanjung Benoa. Disana terdapat beberapa permainan air dengan standar keamanan yang cukup baik. Matahari kala itu sangat terik. Hawa disana juga cukup panas. Sepanas saya ketika melihat daftar permainan yang cukup mahal. Tetapi hal itu memang sebanding dengan asuransi dan keamanannya yang baik. Di tanjung benoa saya hanya duduk diam melihat mereka yang asik bermain air. "nek pengen gratisan, copot katokmu, langsung nyebur neng banyu!"(kalau mau yang gratis, lepas celanamu dan langsung aja nyebur ke air!)  kata teman saya yang juga ikut kesal dengan masalah budget yang minim. "Matamu nyuk!, ndasmu kesangkut tali kae mung iso ngekek aku." ((kasar)! kepalamu tersangkut tali itu cuma bisa ketawa saya) kata saya sambil menunjuk tali untuk parasailing.  Akhirnya kami berdua hanya memandang sambil mengutak-atik kamera kami.






Setelah kurang lebih 3 jam leyeh-leyeh di pantai Tanjung Benoa, saya dan rombongan kembali menyusuri tanah aspal Denpasar untuk menuju ke Pantai Kuta. Pantai ini terletak di Bali selatan tepatnya kabupaten Badung, bukan Bandung yah! Sesampainya di sana,  Lagi-lagi saya disuguh lautan manusia. Di pantai Kuta kita dapat melihat sunset tepat di tengah laut. Banyak sekali wisman disini. Fasilitas yang sangat menunjang membuat pantai ini sangat di minati para wisatawan baik lokal dan mancanegara. Banyak juga para wisman yang berjemur di sana. "wedeh, betah tenan aku neng kene, coba omahku mung neng kulon kono, mbrene terus aku.."(wedeh betah banget aku disini, coba rumahku hanya di barat situ, kesini terus aku). ucapan teman saya yang membuat salah seorang bule melihat kami sambil memegang sekaleng bir.
Melihat cuaca yang cerah, saya memiliki ekspektasi positif untuk melihat sunset. Tapi baru sekitar pukul 16.30, saya harus di hajar TL untuk masuk lagi ke dalam bis. Apaa? Travelling dihimpit waktu memang sesuatu yang menyebalkan.



Hari ke 3 di Bali adalah hari terakhir kami pula. Kunjungan kami sebelum kepasar oleh-oleh adalah ke monumen Bajra Sandhi. Monumen ini merupakan monumen perjuangan rakyat Bali. Untuk menghormati para pahlawan, serta sebagai lambang persemaian pelestarian jiwa pejuang yang memberi inovasi dan ispirasi dalam mengisi keutuhan NKRI. 
Arsitektur ini berbentuk Bajra yaitu peralatan oleh pendeta Hindu untuk upacara keagamaan. Seluruh monumen ini memiliki arti sendiri-sendiri. Monumen ini sendiri menggambarkan Gunung Mandara, yang menurut epos Mahabarata, para dewa melakukan pertempuran melawan Tirta Amerta. 
Arsitektur yang bergaya Nasionalisme terwujud pada 17 gerbang utama, 8 pilar dan tinggi monumen 45 meter. Jelas sudah bahwa ini mencerminkan 17-08-'45 hari kemerdekaan Indonesia, bukan?








Di dalam monumen kita dapat melihat berbagai foto-foto perlawanan terhadap Belanda jaman penjajahan, juga diorama. Ada hal yang sempat membuat saya heran, terdapat tangga melingkar, yang lagi-lagi terdapat tulisan " bagi wanita yang sedang berhalangan, dimohon tidak menaiki tangga." Entah sudah berapa kali saya melihat larangan ini. Tapi memang harus dipatuhi, karena bisa saja akan terjadi celaka jika kalian melanggar.
Dari atas saya dapat melihat kota Denpasar dengan cuaca yang mendung merona waktu itu.


***

 Sudah selesai saya ngublek-ublek pesona Bali, akhirnya saya dan rombongan harus balik ke Jawa. entah teman saya sudah ninggalin apa saja di hotel. bahkan teman saya sekamar sudah ninggal (maaf) tinja di wc hotel. Masih mending saya yang hanya ninggalin "iler" bersejarah di kantong bantal hotel. hehe.
Akhirnya kami harus kembali rela menempuh 14 jam dalam bis untuk kembali ke Jawa. I'll be back, Bali!

Selasa, 20 Maret 2012

15, tak sampai lemas

 "Pedas adalah bagian dari hidup, maka kau harus merasakannya"


 Saya sebenarnya kurang suka makanan pedas. Bisa dibilang saya jarang sekali makan pedas. Tetapi suatu hari saya harus menerima tantangan seorang teman yang mengatakan bahwa "pedas adalah bagian dari hidup, maka kau harus merasakannya", dan saya harus menerima tantangan itu. Saya diajak ke tempat makan yang bernama Ayam Geprek Bu Rum. Tempat ini berlokasi di JL. Wulung, papringan Lor Yogyakarta. Disana kita bisa bebas minta cabe yang akan di uleg bersama ayam.

"wani piro lomboke mas?" si pemasak tanya pada saya. Saya langsung nyeplos "15 wae mas, ndak kepedesan".
Sedangkan teman saya yang di belakang sudah siap dengan 20 cabe di tangan. Dengan muka arogan-mesum, dia tersenyum kepada saya. 



Kemudian kami memilih tempat duduk, dan segera menyantap makanan sentimentil ini. "wasuu.. pedes tenan cuk!" temen saya berteriak sambil memukul-mukul badan saya. Dengan hanya tersenyum saya meneruskan makan saya. Saya sendiri yang tak doyan pedas sebenarnya sangat ragu sekali untuk memakannya. Saya harus berucap doa dalam hati pula. Setelah saya makan, satu suap, dua suap hingga lima suap, ternyata tak merasa kepedesan. Hanya keringat yang muncul dan menetes dari segala pencuru wajah. Sedangkan teman saya ini sudah menyurutkan 2 es teh milik saya dan miliknya. Dengan mulut memerah dan monyong, serta muka yang sudah sangat payah, ia menyudahi sepiring berisi ayam plus nasi. "Piye, kok ra entek? payah tenan kowe cuk!" saya sedikit mengejek. Mungkin karena teman saya yang jengkel dan malu, segera saja ia lalap makanannya dengan terlihat terpaksa.

"uwis dab, kapok aku." katanya dengan raut muka lega karena pedasnya sudah ternetralisir oleh es teh ke 3 pesanannya. Akhirnya saya mengakhiri tantangan teman saya ini dengan muka seperti habis sauna, sedangkan teman saya tampil membayar dengan muka merah mesum merona.