Rabu, 23 September 2015

Pesan dari Everest





Beberapa bulan lalu, saya baru saja katam  menonton film Into Thin Air : Death on Everest tahun 1997  besutan Robert Markowitz. Film ini diadaptasi dari manuskrip dengan judul yang sama karangan John Krakauer, salah satu pendaki yang terlibat dalam summit Everest tahun 1996 yang pada tahun tersebut menjadi torehan tragedi kelam pendakian puncak Everest, sebagai tempat paling berbahaya di dunia.

19 tahun kemudian, tragedi tersebut diangkat kembali oleh Baltazar Kormakur menjadi sebuah film drama yang berjudul Everest. Kali ini sang sutradara berhati hati dan lebih bersifat obyektif, dengan tidak menyandarkan pada satu sumber karangan John Krakauer saja, melainkan juga buku bantahan dari Anatoli Boukreev The Climb, serta beberapa manuskrip yang terkait.


Suasana pendakian ketika menuju Balcony step/ in frame : Rob Hall leads his team
Courtesy : Everest Film

Sejak Everest didaki pertama kali oleh Edmund Hillary dan Tenzing Norgay di tahun 1953, aktivitas pendakian di wilayah Nepal semakin meningkat, Hingga Tahun 1996, dimulailah sejarah kelam pendakian Everest. Saat itu ratusan pendaki dari beberapa komunitas, memiliki keinginan yang sama untuk berdiri di puncak, termasuk Rob Hall (Adventure Consultant) dan Scott Fischer (Mountain Madness), serta komunitas dari negara Afrika Selatan dan taiwan. Kedua biro tersebut dapat dibilang yang terbaik karena menjadi pilihan beberapa para pendaki Everest amatir namun bukan pemula, seperti Yasuko Namba wanita Jepang yang telah mendaki 6 puncak tertinggi di dunia sebelumnya, Doug Hansen, seorang tukang pos yang telah 2 kali mendaki Everest namun belum menggapai puncak, Beck Weathers seorang dokter patologi yang akrab dengan gunung di amerika serikat, John Krakauer seorang jurnalis yang akrab tentang pendakian, serta 4 pendaki lainnya di kubu Adventures Consultant. Sedangkan kubu Mountain Madness yang dipimpin Scott Fischer dipilih oleh Sandy Hill seorang jurnalis yang telah menaklukan 7 gunung bersalju di dunia dan telah mencapai ketinggian 7.200 meter di Everest serta beberapa pendaki yang lain Seperti Anatoli Boukreev sebagai assisten Fischeer serta Hellen Wilton sebagai basecamp manager. 

Rob Hall menyambangi Scoott untuk melakukan summit bersama/ in frame : Rob Hall and Scott Fischer 
courtesy : youtube/everest trailer

Yak, Inti film ini dimulai dengan gambaran riuhnya basecamp pendakian Everest, dimana saat itu Rob Hall mengajak bekerja sama dengan Scoot Fischer dalam melakukan summit bersama disertai dengan background suara pendaki yang riuh. Munculnya konflik seperti perubahan jam pendakian membuat beberapa hal penting lupa disiapkan. Akibatnya, antrian, serta banyaknya yang meninggal saat pendakian menuntut untuk berpikir ulang tentang komersialisasi wisata gunung.

Film ini juga dibangun dengan sudut pandang egoisme para pendaki. Hal itu ditangkap ketika Yasuko Namba, memaksakan diri untuk menggenapi 7 dari 6 pendakian puncak tertinggi yang telah ia lakukan. Doug Hansen yang juga memaksa menggapai puncak Everest walaupun badannya sudah lemas. kedua hal tersebut mengantarkan pada tragedi dimana Yasuko Namba harus tewas membeku di Kamp V, serta Doug Hansen yang tewas menjatuhkan diri di Hillary Step. 
Egoisme sungguh digambarkan menjadi maut dalam film ini, Scott Fischer yang saat itu lagi lagi memaksakan diri menyusul teamnya dari kamp II karena harus membawa turun Dale Kruse yang mengalami mountain sickness, hingga fischer harus tewas membeku dalam perjalanan turun dari puncak. 

Sebetulnya, baik kubu Rob dan Fischer telah menggapai puncak tertinggi di dunia tersebut. Dimulai dari Toli, begitu anatoli disapa menjadi rombongan pertama bersama John Krakauer dan Andy Harold Harris pada pukul 1:12. Namun mayoritas sampai  pada pukul 3 lewat sehingga tak lama kemudian dihantam badai. 

Fischer di puncak Everest/ in frame Scott Fischer
courtesy : official Everest trailer

Menguras Emosi

Adegan yang kala itu membuat emosi sekaligus gondok, dimulai ketika Krakauer memilih untuk tidak menolong Andy Harold yang terkena Hypoxia karena oksigennya tersumbat es. Belum lagi ketika Toli mengajak Krakauer untuk turut serta membantu mengevakuasi Beck, Namba, Sandy, Tim dan Fox di kamp V, namun Krakauer justru berdalih mengalami gangguan penglihatan dan meneruskan untuk tidur di tenda. Akhirnya Toli memilih untuk menyelamatkan Sandy Tim dan Fox yang notabene adalah klien di biro yang ia pegang (Mountain Madness). 

Lalu, muncul pertanyaan, mengapa Toli juga tidak menyelamatkan Namba dan Beck? Saat itu, Toli melihat bahwa Namba dan Beck memiliki potensi hidup yang kecil, sebagai pendaki professional, ia juga mempertimbangkan hal-hal yang menghambat evakuasi di ketinggian 7900 mdpl. Selain itu, faktor komersial bahwa Namba dan Beck yang bukan tim Mountain Madness menjadikan mereka tidak diprioritaskan.

Disamping adegan yang menguras emosi, film ini menyematkan pesan bahwa pentingya hubungan antarpersonal ketika akan mendaki gunung, lalainya Hall dan Fischer untuk membentuk hubungan tersebut berakibat pada tidak adanya rasa solidaritas ketika terjadi hambatan.

Anatoli Boukreev menolong Sandy dan Tim 
Courtesy : Official Everest Trailer

Kalau di lihat secara seksama, film ini memiliki banyak pencerahan sekaligus kritik dalam dunia pendakian. Penonton diajak cerdas dalam mencermati film dan bukan hanya terkagum kagum diatas ketinggian terbang pesawat jet, serta berkobar-kobar keinginan untuk mendaki. Namun justru mencermati insight yang terpapar dalam drama durasi 2 jam tersebut, mulai dari teknik pendakian, peralatan yang digunakan, manajerial, hingga teknik evakuasi. Lihat juga bagaimana pembagian tugas yang detail dan rumit dalam merancang sebuah pendakian. Memang, karena pendakian itu bukan perkara menggapai puncak nan tinggi.

Film ini juga menegaskan bagaimana peralatan yang mahal serta perencanaan yang super matang, skenario evakuasi yang apik, masih belum bisa memberikan jaminan selamat dari guguran es di gunung  Everest. Semuanya tergantung alam yang mengatur, ia yang mempunyai hierarki. Itu sebabnya salah jika para pendaki khususnya yang sebagian besar justru membuat gunung sebagai alat kompetisi. Betul yang dikatakan Toli bahwa manusia selalu bersaing melawan gunung, namun gununglah yang selalu menjadi pemenangnya.

Demikian pula dengan Rob Hall yang telah menggapai 7 puncak tertinggi, serta Scott Fischer yang merupakan pendaki ulung tidak mengendapkan habis resiko yang terjadi di gunung. Alam memang tak di rancang untuk di kalahkan siapapun, namun alam dapat diantisipasi dengan persiapan super matang. Tetapi kembali lagi, alam tak bisa dilawan, sehingga pendaki sekelas Rob dan Scott harus meregang nyawa dihantam badai Everest yang ganas.

Kalau begitu, bagaimana dengan pendaki musiman, yang mendaki gunung tak setinggi Everest sehingga menyepelekan syarat dan kelengkapan pendakian? Apakah lalu anda berbangga hati ketika sampai di puncak Semeru misalnya, berfoto ria sambil membawa kertas dan tidak mengindahkan larangan untuk sampai di puncak? Lantas apakah anda ini merupakan gambaran pendaki yang baik?

Film Everest juga menampar muka pendaki khususnya di Indonesia, lihat saat adegan dimana Rob Hall memungut sampah di basecamp pendakian Everest. Film ini memberi kritik tentang sampah yang meracuni tanah Everest yang merupakan salah satu imbas komersialisasi gunung. Tapi rasanya tak hanya Everest, gunung yang lain juga memiliki nasib yang sama, termasuk Indonesia.

Gunung memang bukan semata diukur dari seberapa tinggi dan menjulangnya. Bukan pula diukur dari sulit mudahnya untuk didaki. Justru manusia yang mendakinya yang harusnya dijadikan catatan. Maka timbulah refleksi bagi kita, apakah gunung hanya akan di jadikan objek penakluk? atau dapat menjadi sahabat bagi manusia untuk mengguncah jatidiri?

Scott FIscher (Jake Gylenhall) 
courtesy : Canadaam.ctv.news.ca

-It's about Attitude not Altitude-

Kembalilah tentang bagaimana ego manusia, bagaimana  Doug Hansen memaksakan diri sampai puncak walaupun saat itu sudah jauh dari waktu yang direncanakan. Hingga akhirnya ia harus tewas diterjang badai di Hillary step. Lihat pula bagaimana sherpa Longsap yang terlewat memasang tali di Hillary Step, serta Sherpa Ang Dorje yang tidak menaruh oksigen di puncak selatan. Jadi, kalau yang lengkap saja masih terlewat, bagaimana yang mendaki seadanya? yakin bisa baik-baik saja? 

Secara khusus film ini memberikan efek dan kritik yang pedas dalam pendakian. Tidak hanya menyuguhkan gambar pemandangan puncak Everest yang wibawa, namun bagaimana begitu pentingnya sikap manusia terhadap alam. Mau bagaimanapun, alam akan menang melawan kita, jadi seyogyanya manusia yang harus tunduk haru terhadap alam.

Sebaiknya anda pemilik hobi yang sama dengan Hall dkk, jangan hanya menonton film berkelas jauh dibawah yang mengumbar umbar pemandangan indah serta alur romantisme ala pendaki, seperti film 5 cm. Hingga membuat alay-alay berbondong bondong mewek dan mendaki menunju Mahameru. Tontonlah Film Everest dan petik hikmahnya sehingga menjadi pendaki yang mahir rendah hati dan bijak.



foto ini diambil sebelum pendakian Everest pada tahun 1996 / in frame : Rob hall's Team 
Front row, left to right: Doug Hansen  Susan Allen, Jon Krakauer, Andy Harris, Rob Hall, Frank Fischbeck, Yasuko Namba.Back row, left to right: John Taske, Stuart Hutchison, Helen Wilton, Beck Weathers, Lou Kasischke, Mike Groom (courtesy :Hanaleip.wordpress.com (the caption)
 clutchofinspirations.files.wordpress.com)


*****












.