Selasa, 27 Agustus 2013

Oh Rambutku

1 bulan lalu saya tak sengaja melihat kiriman gambar dari seorang teman di kalimantan tengah yang ia kirim lewat e-mail. Tak ada yang istimewa dari sebuah gambar yang ia ambil dari google, hanya gambar seorang lelaki dengan rambut pirang gondrong. Ia adalah Dave Mustaine personel Megadeth.


Seperti itu gambar yang teman saya kirim. Dibawahnya ada sepucuk kalimat "sudah gondrong, bung?".  
Sesudah saya membacanya, tetiba saya ngeh kalau saya selalu terobsesi dengan rambut gondrong. Semuanya bermula saat saya membaca sebuah artikel tentang Rocker. Mereka semua terlihat keren dengan rambut gondrong mereka. Hal itu yang membuat saya terobsesi berat dan menganggap bahwa orang gondrong (read : hair rocker) adalah orang terkeren sejagat raya. (ha!). Salah satu kisah rambut gondrong yang saya tahu adalah kisah Led Zeppelin. Dahulu, mereka sempat dilarang manggung di Singapura karena rambut gondrong mereka. Pemerintah Singapura khawatir rambut gondrong mereka akan membawa dampak buruk bagi remaja di sana. 

Sayang, obsesi saya selalu terbentur peraturan norma dan himbauan. Pas jaman saya masih sd-smp-sma, mana boleh ada murid gondrong. 

Suatu kali, ketika sma kelas 1, saya iseng sok jadi pemberontak. Rambut saya gondrongkan sedikit  hingga hampir menutup telinga saya. 1 kali peringatan, saya abaikan, 1 kali operasi ketertiban saya ngumpet di kamar mandi hingga peringatan keras saya abaikan juga. Saya tertawa jumawa saat itu, seolah menjadi seorang pemberontak yang meluluh-lantahkan rezim kepala sekolah sma (halah!) 
Tak lama, 2 hari kemudian saya masuk "bui". Saya masuk ruang ketertiban karena rambut saya ini. Crap! rambut saya dicukur ngawur hingga sebagian pitak. Itu juga saya di cukur ditengah lapangan upacara saat istirahat. Fak!

hingga akhirnya...

Tuhan memang selalu memberikan kesempatan bagi umatnya yang bersabar. Saya memasuki bangku kuliah, jadi tak ada lagi aturan-aturan "dilarang gondrong" atau semacamnya. Asal bayar spp semuanya oke. Mana peduli dekan-rektor atau dosen tentang mahasiswanya yang gondrong. Tidaak.

Rambut saya sampai saat ini belum gondrong segondrong Dave Mustaine, belum bisa di headbang in. Sebahu saja belum ada. Saat ini saya masih membulatkan tekat dan mental menerima segala siksa derita dari ucapan orang tua (Lay!). Tapi ini obsesi, sepertinya masih eman-eman untuk mengambil keputusan memotong rambut.

Perjalanan sang rambut untuk mencapai moksa masih panjang, masih banyak ujian, contoh saja saat rambut posisi nanggung, itu akan menjadi momen menderita bagi saya. Mungkin label tambah jelek bisa tersemat di depan muka saya besok. duhdek..!

Tetapi, menjadi gondrong memang ada hukum alamnya. Setelah melalui ujian rambut nanggung menggimbal dan mencuat tak tahu arah, akan muncul akhirnya keindahan ragawi yang disebut GONDRONG.
hiiirrrr....


Sabtu, 29 Juni 2013

Roman Kacangan

bagi kau yang menghuni di satu sisi hati...


Kala itu kau baru bangun dari tempat tidur, berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi 20 jam yang lalu. Kau duduk termenung, melihat jarum jam yang masih menunjukan pukul 4 pagi. Kau telah menang! menang bangun terhadap matahari. Tetapi hal itu tak membuatmu gembira, justru kau semakin ciut, menciut terus. Tanganmu coba mengacak-acak rambut, berharap ingatan itu tak kembali muncul. Tapi semuanya sia-sia, ingatan memang adanya tak di rambut, tetapi disini.. di hati dan pikiranmu.

Hati memang susah dimanipulasi, ingatan itu memang begitu membekas, disatu sisi kau mencoba membias hingga semua terlewat batas. tepat 20 jam sebelum kau termenung sekarang. saat itu hatimu terperangah, kau tertawa bebas, hatimu juga tak memungkiri bahwa sedang lepas hari itu. Kau tertawa berdua di tepian pantai pasir putih, iya berdua... Kau, dan dia. Saat itu kau sungguh merasakan makna nirwana. Hingga kau mau melakukan apa saja asal makna itu tak hilang. Tiba-tiba dia merasa dahaga dalam arti sebenarnya, lantas kau berjalan jauh mencari sebuah bujana air kelapa, kau berikan dengan tulus padanya dan apa adanya. Dia begitu bahagia, seakan tahu sang pujangga sebenarnya ada. Kau memang seorang pujangga, kau memberikannya "syair" syahdu hingga dia merasa nyaman. 

Matahari saat itu memang memihak padamu, awan hitam hanya sebentar lewat, seolah memberikan keteduhan sebentar dan saat itu pula pergi. Mereka semua tak tega melihatmu hanya sekedar mengernyitkan jidat. 

2 jam kau hanya berkutat pada "syair" melankolis romantis. Hingga akhirnya kau mulai berurusan dengan hati. Kasar memang jika kau coba curangi hati. 
Kau beranjak cepat dari tepian pantai, seolah menghancurkan "istana perasaan" yang sedari tadi kau syukuri. 
Entah ada apa dengan kau?

Kau meninggalkan dia begitu saja, dan dengan cepat membasuh kaki dan tanganmu. Butir-butir kasar yang lepas dari tangan-kakimu seolah menggambarkan nirwana yang melenyap perlahan di hatimu. Kau terbesit sesuatu, bahwa kau memang harus menghentikan sebelum semuanya kelewatan. Kau dan dia memang tak pernah bisa bersatu. Kau terpisahkan benteng kenyataan yang tak bisa dihancurkan. Kau sadari itu dengan sungguh, tapi...
bagaimana dengan dia?
Kau berfikir memberikan pengertian nyata dan subtil tanpa merusak hatinya. Tapi semuanya memang terasa rumit. 


Dia datang, menyusulmu dengan baju basah bercampur beribu butir pasir disekitar tangan dan rambutnya. Kau menyuruhya membasuh dan berganti pakaian, seolah kau ingin pulang cepat. Dia masih merasa heran dengan perubahan yang kentara darimu. Sambil menunggunya, kau berusaha berfikir alot, tapi tetap hasilnya nihil. 

Beberapa saat kemudian kau mencoba menghadap padanya, dia malah tersenyum simpul. Hatimu tak sampai hati mengatakannya. Kau memang sedang tak pada jalannya, seolah semesta menyangkal rencanamu. 


Tapi sudah pada hakikatnya kau diajarkan untuk mengikuti kata hati. Kau menghela napas, berusaha membuat setiap celah dan bagian dalam tubuhmu siap.  Kau yang telah bertekad diri kemudian mengarahkan serangkaian kata-kata menyembilu kepadanya.


sesaat kemudian....

dia berusaha mencerna dengan hati, dia hanya menggelengkan kepala merasa tak percaya atas semuanya. Dia sama sekali tidak menangis.Bahkan raut mukanya sama sekali tak berubah. Kau tahu dia memang berusaha membiaskan perasaannya. Kau tampak memandangnya dari kejauhan setelah tadi dia berlari mencari tempat permenungan. Ia sedang berbicara dengan hati, mencari apa yang sebenarnya terjadi. Kau mendekatinya, duduk tepat disampingnya, berusaha menjelaskan alasannya. Tapi alasanmu tak berhasil menego perasaan. Memang.. perasaan tak akan bisa dinego. Karena perasaan adalah harga mati yang berkaitan dengan hati.

Setelah lama kau berbicara, akhirnya dia minta diantarkan kembali kerumah. Sepanjang perjalanan kau dan dia hanya bungkam. Perjalanan saat itu sungguh biru, hambar semata. Kontras jelas ketika kau dan dia tadi bergegas. Perjalanan pulangmu sungguh sendu, biru dan tampak haru.

Dan pada akhirnya kau menyadari, bahwa hal itu adalah sebuah keriput dalam lebarnya muka sang kehidupan yang tak akan bisa dihapus, tetapi hanya bisa dilewati dengan arif. Begitu pula dengan hati, ia bisa ditutup untuk dibenahi dan kemudian dibuka kembali untuk bisa ditinggali.


sekian...





Yogyakarta, 30 Juni 2013 

Rabu, 19 Juni 2013

Meraba Buku Perjalanan




Pernah baca buku dengan judul seperti ini :  "pergi ke bla-bla-bla, hanya sekian rupiah"? Kalau iya, brarti kita sama :toss:. Saya punya 2 buku, yang satu saya beli, tapi satunya lagi saya pinjam sampai gak kembali. Saya dulu begitu percaya dengan isi buku ini, tetapi setelah saya praktekan, hasilnya cenderung sesat! Referensinya sangat dangkal, bahkan poin-poin andalannya seperti : tumpangan gratis, menginap gratis, dibayarin makan gratis, tinju gratis, mck gratis, ngebis gratis,.. apalah itu, malah bikin eneg. Sehingga kisah-kisah di dalam buku ini jadi hanya terkesan ndobos wae dan gagal untuk dijadikan acuan.

Memang, beberapa backpacker mendapatkan keuntungan dalam menerapkan teori seperti numpang gratis, nginap gratis, makan gratis dan seterusnya. Saya juga pernah dapat makan gratis nasi ikan dari seorang pejabat setingkat lurah :pamer: . Tapi hal-hal seperti itu hanya sebagai bonus perjalanan, bukan bagian perencanaan dalam daftar ketika kalian berjalan. 

Masalahnya, hal-hal penting seperti menginap, makan gratis, sering tidak ditulis dalam prakiraan pengeluaran. Mau mengandalkan inap gratisan seperti di buku-buku? prek syu, potong rambut wae mbayar. saat kita mulai berjalan, banyak kejadian buruk terjadi, penerbangan delay, cuaca buruk, host rumah galak, gak boleh numpang dan seterusnya. Kalau kalian tidak memasukan biaya penginapan, gimana? mau nginep di bandara? kolong jembatan, rumah kosong, pos ronda, sawah? eh sawah gak deng.. Jika kita memang mendapatkannya. Ya itu mung bejo belaka 

Dalam daftar pengeluaran perjalanan di buku-buku yang sangat jarang ditulis adalah, pengeluaran tak terduga. Hal ini sebenarnya merupakan variabel sederhana yang sudah paten harus ditulis oleh seorang pejalan. Contohnya, ketika penerbangan delay karena cuaca buruk, tubuh kalian mendadak melemah, padahal kalian sudah menyusun pengeluaran ketat hingga tak berjarak seperti apa yang tertulis di buku tersebut. Tak ada biaya kedokter, beli mixagrip, procol  atau apalah itu. Gimana hayo? 
Nah hal seperti itu yang sering luput dalam buku bergenre : "keliling eropa sampai mblenger"

Mungkin beberapa dari mereka yang menulis buku-buku seperti itu yang dipikirkan hanyalah : bujet minim, semakin minim semakin laris.  Hingga pada akhirnya lupa pada penyesatan massa. Banyak sekali teman-teman saya yang terkecoh karena buku-buku ini. Untunglah beberapa dari mereka masih berkutat di kota-kota besar dan masih ada ATM, tapi beberapa teman yang lain sungguh sengsara ketika mereka telah sampai di tempat yang jauh dengan bujet yang super ketat. 

Pada akhirnya, menilik kembali terhadap segala macam buku perjalanan sangatlah penting. Tak selalu harus menurut seperti yang digarap di beberapa buku tersebut. Nanti bukannya senang-senang, malah jadi sengsara ,ketika berjalan.

happy travelling. :)

Kamis, 30 Mei 2013

Maria Tritis : The Tranquil Place





Saya begitu percaya bahwa tempat tempat seperti gua atau hutan yang sepi 
memiliki aura-aura yang mengundang kita untuk merenung dan meneduhkan diri
 kepada Tuhan yang esa.Aura spiritual seperti ini selalu membuat saya "nagih" ketika pulang ke rumah, seakan selalu ingin kembali kesana.

***

Selalu, saya kalau ada "janji" dengan hati, pasti harus ditepati. Sama seperti kali ini, hati saya sedang galau, sepertinya sedang banyak hal personal yang harus diceritakan. Saya sudah lama berjanji untuk mengajaknya ke tempat yang baru. Dan kali ini saya menepatinya, saya mengajak ke Gua Maria Tritis.



Tempat ini terbentuk bermula ketika Romo Hardjosudarmo SJ yang menjadi guru di SD Sanjaya di dusun Pengos kecamatan Paliyan merayakan misa natal bersama para murid-murid sd nya di halaman sekolah pada tahun 1975. Pada saat itu romo menyiapkan hiasan gua yang dibuatnya dari kertas, dibantu beberapa murid sd. Seorang anak sd yang baru saja datang tiba-tiba nyeletuk " Romo, tidak usah repot-repot buat gua pakai kertas, di tempat saya ada yang asli, ada gunung growong romo (gunung yang berlubang)." 
Singkat cerita, diantarkannya Romo oleh si murid tersebut ke lokasi. Ketika sampai, Romo langsung terkejut melihat pemandangan yang ada di depan matanya.Seketika itu juga Romo berniat untuk menjadikan tempat ini menjadi tempat berdoa seperti sekarang. Setelah beberapa kali berembug, akhirnya tercapailah keinginan Romo untuk menjadikannya tempat berdoa bagi umat katholik, sehingga pada 1979 gua ini diresmikan oleh Romo Lamers SJ dan diletakannya Patung Bunda Maria tepat di dalam gua.

Tempat yang menyatu bersama pegunungan karst ini berjarak sekitar 60 km dari kota Yogyakarta. Tak ada petunjuk jalan khusus ketika kalian masih di kota Wonosari, sehingga kalian perlu sedikit "ngoyo" tanya sana-sini untuk mencapai tempat ini.

Beberapa ratus meter saya berjalan, akhirnya sampai di intinya tempat ini. Tepat di depan mata saya,  Tuhan Yesus yang disalib hadir diatas batu-batu besar di dalam gua, walau sedikit terdapat bercak hitam lumut disekitar patung.saya masih ingin lanjut kedalam, mencari sang Bunda, dan mengheningkan diri disana. 




Setelah saya beberapa langkah masuk kedalam, saya kemudian menepi, mencari senderan yang leluasa dan duduk merenung menghadap sang bunda Maria. Gemerlip cahaya lilin yang tertiup angin bergerak-gerak seolah ikut membantu saya memberikan rasa fokus merasakan sang Bunda yang hadir menyapa umatNya di sana. Saya merenung dan mengadu kepadaNya, pada saat itu banyak orang yang berada di sana, dengan rosario di tangan, mereka memanjatkan ujub mereka pribadi, ada yang merenung memandangi wajah Bunda Maria, ada juga yang berdoa secara bersama-sama. Semuanya hanya satu tujuan yaitu memuliakan Sang Bunda Maria. 

Di Area inilah saya berbicara secara pribadi kepadaNya, sambil melihat beberapa orang yang mondar-mandir menaruh lilin, serta beberapa lainnya menepuk kaki sang bunda sambil membuat tanda salib.

Gua Maria Tritis memang menawarkan, bahkan memaksa orang untuk bersedia menyepi dan merenung bersama Tuhan. Dengan menyiapkan tempat yang teduh, Ia membuat hati ini merasa nglangut, sehingga Ia datang dan menemani  melalui ruang hati umatNya.

***

Tuhan barangkali menyukai tempat yang teduh dan hening, sehingga Ia lebih leluasa menyapa umatNya. Ia hadir dalam khusyuknya doa Yesus di taman Getsemani, Ia juga hadir dalam semedi Siddhartha Gauthama di pohon Bodh Gaya. Melalui utusanNya Ia juga hadir dalam iktiaf Nabi Muhammad di Gua Hira. Sungguh Tuhan memang selalu nampak pada kesyahduan hati umatNya.



Yogyakarta, 31 Mei 2013:)