Sabtu, 29 Juni 2013

Roman Kacangan

bagi kau yang menghuni di satu sisi hati...


Kala itu kau baru bangun dari tempat tidur, berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi 20 jam yang lalu. Kau duduk termenung, melihat jarum jam yang masih menunjukan pukul 4 pagi. Kau telah menang! menang bangun terhadap matahari. Tetapi hal itu tak membuatmu gembira, justru kau semakin ciut, menciut terus. Tanganmu coba mengacak-acak rambut, berharap ingatan itu tak kembali muncul. Tapi semuanya sia-sia, ingatan memang adanya tak di rambut, tetapi disini.. di hati dan pikiranmu.

Hati memang susah dimanipulasi, ingatan itu memang begitu membekas, disatu sisi kau mencoba membias hingga semua terlewat batas. tepat 20 jam sebelum kau termenung sekarang. saat itu hatimu terperangah, kau tertawa bebas, hatimu juga tak memungkiri bahwa sedang lepas hari itu. Kau tertawa berdua di tepian pantai pasir putih, iya berdua... Kau, dan dia. Saat itu kau sungguh merasakan makna nirwana. Hingga kau mau melakukan apa saja asal makna itu tak hilang. Tiba-tiba dia merasa dahaga dalam arti sebenarnya, lantas kau berjalan jauh mencari sebuah bujana air kelapa, kau berikan dengan tulus padanya dan apa adanya. Dia begitu bahagia, seakan tahu sang pujangga sebenarnya ada. Kau memang seorang pujangga, kau memberikannya "syair" syahdu hingga dia merasa nyaman. 

Matahari saat itu memang memihak padamu, awan hitam hanya sebentar lewat, seolah memberikan keteduhan sebentar dan saat itu pula pergi. Mereka semua tak tega melihatmu hanya sekedar mengernyitkan jidat. 

2 jam kau hanya berkutat pada "syair" melankolis romantis. Hingga akhirnya kau mulai berurusan dengan hati. Kasar memang jika kau coba curangi hati. 
Kau beranjak cepat dari tepian pantai, seolah menghancurkan "istana perasaan" yang sedari tadi kau syukuri. 
Entah ada apa dengan kau?

Kau meninggalkan dia begitu saja, dan dengan cepat membasuh kaki dan tanganmu. Butir-butir kasar yang lepas dari tangan-kakimu seolah menggambarkan nirwana yang melenyap perlahan di hatimu. Kau terbesit sesuatu, bahwa kau memang harus menghentikan sebelum semuanya kelewatan. Kau dan dia memang tak pernah bisa bersatu. Kau terpisahkan benteng kenyataan yang tak bisa dihancurkan. Kau sadari itu dengan sungguh, tapi...
bagaimana dengan dia?
Kau berfikir memberikan pengertian nyata dan subtil tanpa merusak hatinya. Tapi semuanya memang terasa rumit. 


Dia datang, menyusulmu dengan baju basah bercampur beribu butir pasir disekitar tangan dan rambutnya. Kau menyuruhya membasuh dan berganti pakaian, seolah kau ingin pulang cepat. Dia masih merasa heran dengan perubahan yang kentara darimu. Sambil menunggunya, kau berusaha berfikir alot, tapi tetap hasilnya nihil. 

Beberapa saat kemudian kau mencoba menghadap padanya, dia malah tersenyum simpul. Hatimu tak sampai hati mengatakannya. Kau memang sedang tak pada jalannya, seolah semesta menyangkal rencanamu. 


Tapi sudah pada hakikatnya kau diajarkan untuk mengikuti kata hati. Kau menghela napas, berusaha membuat setiap celah dan bagian dalam tubuhmu siap.  Kau yang telah bertekad diri kemudian mengarahkan serangkaian kata-kata menyembilu kepadanya.


sesaat kemudian....

dia berusaha mencerna dengan hati, dia hanya menggelengkan kepala merasa tak percaya atas semuanya. Dia sama sekali tidak menangis.Bahkan raut mukanya sama sekali tak berubah. Kau tahu dia memang berusaha membiaskan perasaannya. Kau tampak memandangnya dari kejauhan setelah tadi dia berlari mencari tempat permenungan. Ia sedang berbicara dengan hati, mencari apa yang sebenarnya terjadi. Kau mendekatinya, duduk tepat disampingnya, berusaha menjelaskan alasannya. Tapi alasanmu tak berhasil menego perasaan. Memang.. perasaan tak akan bisa dinego. Karena perasaan adalah harga mati yang berkaitan dengan hati.

Setelah lama kau berbicara, akhirnya dia minta diantarkan kembali kerumah. Sepanjang perjalanan kau dan dia hanya bungkam. Perjalanan saat itu sungguh biru, hambar semata. Kontras jelas ketika kau dan dia tadi bergegas. Perjalanan pulangmu sungguh sendu, biru dan tampak haru.

Dan pada akhirnya kau menyadari, bahwa hal itu adalah sebuah keriput dalam lebarnya muka sang kehidupan yang tak akan bisa dihapus, tetapi hanya bisa dilewati dengan arif. Begitu pula dengan hati, ia bisa ditutup untuk dibenahi dan kemudian dibuka kembali untuk bisa ditinggali.


sekian...





Yogyakarta, 30 Juni 2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar