Sabtu, 15 Februari 2014

Abu-Abu


" Jogja Monochrome" 
kata seorang teman di dalam kereta

punggawa ketika tiba :D

Mobil di pacu pada dini hari kemarin, saat itu lagu payung teduh berputar sendu melewati kota Pasuruan. Mata kami masih lengket tetapi tetap harus dipaksa, kami harus mengejar kereta yang sekarang disiplin. Memang, KAI menerbitkan perubahan yang semakin kentara. Semua terlihat lelah, tetapi tetap berusaha terjaga, seolah ingin mengumpulkan lelap untuk dibuang di dalam kereta.

Tetiba, jalanan mendadak berkabut, jarak pandang terbatas, mobil di gas perlahan mengikuti mobil di depan, kami mulai menerka, ada apakah? beberapa dari kami bilang berupa debu proyek, tetapi kemudian itu dipatahkan kabar dari Kelud bahwa abunya  beriring jatuh ke barat. Semua berubah kelam, terlihat seperti model sepia  pada aplikasi foto.

Pagi kali ini tak biasa, semuanya masih gelap, hingga keadaan sedikit reda di Surabaya, di sana hujannya lumayan tipis, tapi lumayan berdebu pula. waktu masih menunjukan 06.40. Beberapa dari kami mengembalikan mobil dan sebagian dari kami beristirahat di serambi stasiun Gubeng. Sesekali meng-update  informasi, beberapa sibuk bertanya keadaan Jogja. Kami semua sibuk bercerita tentang Kelud.

***

kata orang kehadiran gunung 1730m ini ada kaitannya dengan lembu Sura seorang tokoh legenda yang mewarnai Kabupaten kediri, Beliau pernah mengutuk : 

"Yoh, Kediri mbesok bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping, Yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, lan Tulungagung dadi kedung" 

ada cerita bahwa Lembu Sura melamar seorang putri Dyah Ayu Pusparani, putri seorang penguasa Majapahit. Karena tak sesuai harapan, sang putri menolak dengan cara halus. Tak beda dengan Roro Jonggrang cerita Prambanan, sang putri minta di buatkan sumur dalam semalam.

Karena perkembangan yang tak dikira sang putri, Ia mulai panik dan menangis. Raja yang merasa iba segera mengutus para prajurit untuk menutup sumur yang tengah digali sang Lembu. Mereka melempari batu dan menutup lubang-lubang. Sang Lembu meminta agar tidak ditutup, tetapi mereka tetap mengurug  bahkan semakin cepat supaya sang Lembu tidak segera naik. 

Tahu permintaannya tak di gubris, Lembu Sura mulai mengeluarkan "sepatannya" hingga lahirlah gunung Kelud dengan letusan yang menggelegarnya.

terlepas dari legenda ini, ternyata Kediri memiliki 11 kali, sementara Blitar merupakan daerah datar yang dikelilingi sungai dan danau, serta Tulungagung memiliki bendungan Wonorejo. Adakah kaitannya?


***

Suasana dalam rana


Kereta telah tiba, tetapi beberapa teman kami masih belum kembali dari rental mobil, sebagian kami tetap tenang dan mencoba menelfon mereka. Hingga akhirnya waktu menunjukan 07.55, mereka belum juga kembali. Ada yang panik, berusaha melobi petugas hingga berusaha menghubungi mereka. 
Dari jauh, 3 orang berlari tergopoh-gopoh menuju pintu kereta terdekat, segera masuk dan priiit  kereta diberangkatkan. Semuanya lega, sekaligus tak tega melihat mereka, tapi mau apa, begitulah yang terjadi. 
ah sudah, lupakan...

Kereta berangkat ke barat, diluar abu telah menyelimuti, walau tergolong tipis, kereta kami berselimut debu. Hingga akhirnya kereta terus ke barat, abunya tak disangka malah semakin menjadi. Banyak yang masuk melalui celah atas dan bawah kereta kami. Di dalam berdebu.

Singkat cerita, kami sampai di Jogja, abunya begitu tebal, banyak yang beranggapan lebih tebal dari Merapi kemarin, ahh.. tidak juga.. tetap sama. Jogja begitu berbeda, serasa kami seperti kembali di era Majapahit sesaat sebelum di hancurkan gunung Kelud pada legenda yang lain. Warnanya monochrome, benar kata seorang teman di kereta tadi. Abu di mana-mana jarak pandang terbatas, kota ini begitu lumpuh. Tapi tak mengapa, karena ini merupakan konsekuensi tinggal di negara super kaya, Indonesia. Ya toh?

-Jogjakarta, 15 Februari 2014-
ditemani "Diujung malam"
-payung teduh-






Tidak ada komentar:

Posting Komentar