Kamis, 03 Maret 2016

Antara Hujan dan Seberkas Lagu Rindu

Menurut saya, hujan memang berperilaku bak rindu. Kalau memang mau datang ya datanglah saja tak usah menunggu waktu. Maka tak heran, hujan selalu terkait dengan rindu. Namun terkadang menyikapi rindu memang tak se-riang menyikapi Hujan. Jika hujan, saya lebih senang duduk di beranda rumah sambil membaca buku, atau pergi ke warung kopi untuk minum kopi susu hangat. Atau jika sedang dalam perjalanan, saya terkadang memilih tanpa jas hujan untuk pulang ke rumah, itung-itung mengenang masa kecil. Lain ketika menyikapi rindu, mereka terkadang minta dijamu bak tuan tanah. Ia lebih suka dijamu dengan memoar-meoar masa lalu, dan sedikit suasana yang diciptakan dengan lampu temaram dan keheningan. Atau kadang jika sedang luang saya "napak tilas" tempat dimana rindu itu tercipta. Nah, seperti yang saya bilang, hujan memang terkait dengan rindu. Hujan selalu menciptakan energi mengenang, jika sudah begitu, saya tinggal menggabungkan beberapa "ritus" diatas disertai beberapa kidung pendukung. Adapun beberapa kidung yang menurut saya pantas masuk playlist,

1.  Puan Kelana, SILAMPUKAU


silampukau. com


Ibarat kopi hitam dan beberapa roti gulung dikala hujan, sederhana tapi membekas,

memang seperti itu lagu-lagu yang diracik dua folk asal Surabaya ini. Simak saja lirik Puan Kelana, mereka banyak bercerita tentang seorang kekasih yang terpisah beribu kilometer. Mereka banyak mengenang, dan bercerita hingga akhirnya terpisahkan. Silampukau memang memukau, pelafalan bahasa Indonesia yang tak sering didengar, sekaligus syair yang jujur dan apa adanya. liriknya memang tak romantis-romantis amat, tapi disini yang yang membuat kita dibius rindu tak terlalu dalam. Rindu memang tak boleh terlalu dalam, bahaya!

2. Pulang, FLOAT

thejakartapost. com

Tak ada yang tak rindu jika mendengar lagu Pulang, apalagi ketika diperantauan. Band yang digawangi Meng, Bontel dan Raymond selalu sukses memantik harapan untuk cepat pulang ketika di luar rumah berhari-hari. Padahal lagu mereka, 3 hari untuk selamanya malah membuat saya selalu ingin tetirah. Musiknya ringan untuk membangkitkan angan sedangkan liriknya gampang merasuk. Tak ayal lagu mereka dilirik produser Mira Lesmana. Kerwn!

3. Desember, EFEK RUMAH KACA

wearedisorder. net

Jika kata jenius adalah suatu kata yang berlebihan, maka saya akan menggunakan kata pintar bagi Efek Rumah Kaca. Mereka begitu pintar mempermainkan suasana. Racikan lagunnya sungguh syahdu bahkan menarik kedalam ruang bernama rindu, begitu yang terjadi pada lagu Desember. Mungkin saat menciptakan lagu ini, Cholil banyak bercengkrama dengan hujan. Pembawaan yang dingin membuat beberapa kenangan menguap ke permukaan. Petikan gitarnya begitu membuat rawan, sedangkan beberapa larik lirik yang dalam yang cocok diputar saat hujan. Genius!


4. Layang Kangen, DIDI KEMPOT
Kapanlagi. com

Siapa yang bisa menyanggah?
Didi Kempot memang canggih, Ia selalu bisa meramu sebuah lagu cinta jadi istimewa. lagu yang bercerita tentang sepasang kekasih yang terjebak antara batas rindu dan perantauan. Kisah mereka berkirim surat, dan rasa kepedihan yang mendalam karena tak kunjung bertemu, memang menjadi titik puncak dari lagu ini. Alunan gending Jawa  disertai musik campursari elektrik, mampu membuat suasana hujan menjadi sekilas seperti resepsi nikahan ala Jawa Tengah. Namun, keistimewaannya berada di lirik lagunya. Liriknya yang memiliki sudut pandang sebagai pelaku utama, membuat seolah-olah pendengar yang mengalaminya. Alamak... tak heran jika disetiap sudut kota Yogya hingga Solo banyak yang nyetel Mas Didik, lihat saja sepenggal liriknya. :


Umpomo tanganku dadi
suwiwi

Iki ugo aku mesti enggal bali
Ning kepiye maneh mergo
kahananku
Cah ayu entenono tekaku
.....
Gimana? 

****
Sebenarnya saya ingin menuliskan 8 atau 10 lagu favorit. Namun rasanya, sama saja, dan akan membuang banyak ruang. Lagipula favorit dan tidak itu hal yang tak dapat diukur. Favorit bagi saya, belum tentu favorit bagi pacar saya, apalagi anda. Oiya, nomor diatas tak berarti peringkat ya. Silahkan diputar dan nikmati dikala hujan, jika berkenan.





















Rabu, 23 September 2015

Pesan dari Everest





Beberapa bulan lalu, saya baru saja katam  menonton film Into Thin Air : Death on Everest tahun 1997  besutan Robert Markowitz. Film ini diadaptasi dari manuskrip dengan judul yang sama karangan John Krakauer, salah satu pendaki yang terlibat dalam summit Everest tahun 1996 yang pada tahun tersebut menjadi torehan tragedi kelam pendakian puncak Everest, sebagai tempat paling berbahaya di dunia.

19 tahun kemudian, tragedi tersebut diangkat kembali oleh Baltazar Kormakur menjadi sebuah film drama yang berjudul Everest. Kali ini sang sutradara berhati hati dan lebih bersifat obyektif, dengan tidak menyandarkan pada satu sumber karangan John Krakauer saja, melainkan juga buku bantahan dari Anatoli Boukreev The Climb, serta beberapa manuskrip yang terkait.


Suasana pendakian ketika menuju Balcony step/ in frame : Rob Hall leads his team
Courtesy : Everest Film

Sejak Everest didaki pertama kali oleh Edmund Hillary dan Tenzing Norgay di tahun 1953, aktivitas pendakian di wilayah Nepal semakin meningkat, Hingga Tahun 1996, dimulailah sejarah kelam pendakian Everest. Saat itu ratusan pendaki dari beberapa komunitas, memiliki keinginan yang sama untuk berdiri di puncak, termasuk Rob Hall (Adventure Consultant) dan Scott Fischer (Mountain Madness), serta komunitas dari negara Afrika Selatan dan taiwan. Kedua biro tersebut dapat dibilang yang terbaik karena menjadi pilihan beberapa para pendaki Everest amatir namun bukan pemula, seperti Yasuko Namba wanita Jepang yang telah mendaki 6 puncak tertinggi di dunia sebelumnya, Doug Hansen, seorang tukang pos yang telah 2 kali mendaki Everest namun belum menggapai puncak, Beck Weathers seorang dokter patologi yang akrab dengan gunung di amerika serikat, John Krakauer seorang jurnalis yang akrab tentang pendakian, serta 4 pendaki lainnya di kubu Adventures Consultant. Sedangkan kubu Mountain Madness yang dipimpin Scott Fischer dipilih oleh Sandy Hill seorang jurnalis yang telah menaklukan 7 gunung bersalju di dunia dan telah mencapai ketinggian 7.200 meter di Everest serta beberapa pendaki yang lain Seperti Anatoli Boukreev sebagai assisten Fischeer serta Hellen Wilton sebagai basecamp manager. 

Rob Hall menyambangi Scoott untuk melakukan summit bersama/ in frame : Rob Hall and Scott Fischer 
courtesy : youtube/everest trailer

Yak, Inti film ini dimulai dengan gambaran riuhnya basecamp pendakian Everest, dimana saat itu Rob Hall mengajak bekerja sama dengan Scoot Fischer dalam melakukan summit bersama disertai dengan background suara pendaki yang riuh. Munculnya konflik seperti perubahan jam pendakian membuat beberapa hal penting lupa disiapkan. Akibatnya, antrian, serta banyaknya yang meninggal saat pendakian menuntut untuk berpikir ulang tentang komersialisasi wisata gunung.

Film ini juga dibangun dengan sudut pandang egoisme para pendaki. Hal itu ditangkap ketika Yasuko Namba, memaksakan diri untuk menggenapi 7 dari 6 pendakian puncak tertinggi yang telah ia lakukan. Doug Hansen yang juga memaksa menggapai puncak Everest walaupun badannya sudah lemas. kedua hal tersebut mengantarkan pada tragedi dimana Yasuko Namba harus tewas membeku di Kamp V, serta Doug Hansen yang tewas menjatuhkan diri di Hillary Step. 
Egoisme sungguh digambarkan menjadi maut dalam film ini, Scott Fischer yang saat itu lagi lagi memaksakan diri menyusul teamnya dari kamp II karena harus membawa turun Dale Kruse yang mengalami mountain sickness, hingga fischer harus tewas membeku dalam perjalanan turun dari puncak. 

Sebetulnya, baik kubu Rob dan Fischer telah menggapai puncak tertinggi di dunia tersebut. Dimulai dari Toli, begitu anatoli disapa menjadi rombongan pertama bersama John Krakauer dan Andy Harold Harris pada pukul 1:12. Namun mayoritas sampai  pada pukul 3 lewat sehingga tak lama kemudian dihantam badai. 

Fischer di puncak Everest/ in frame Scott Fischer
courtesy : official Everest trailer

Menguras Emosi

Adegan yang kala itu membuat emosi sekaligus gondok, dimulai ketika Krakauer memilih untuk tidak menolong Andy Harold yang terkena Hypoxia karena oksigennya tersumbat es. Belum lagi ketika Toli mengajak Krakauer untuk turut serta membantu mengevakuasi Beck, Namba, Sandy, Tim dan Fox di kamp V, namun Krakauer justru berdalih mengalami gangguan penglihatan dan meneruskan untuk tidur di tenda. Akhirnya Toli memilih untuk menyelamatkan Sandy Tim dan Fox yang notabene adalah klien di biro yang ia pegang (Mountain Madness). 

Lalu, muncul pertanyaan, mengapa Toli juga tidak menyelamatkan Namba dan Beck? Saat itu, Toli melihat bahwa Namba dan Beck memiliki potensi hidup yang kecil, sebagai pendaki professional, ia juga mempertimbangkan hal-hal yang menghambat evakuasi di ketinggian 7900 mdpl. Selain itu, faktor komersial bahwa Namba dan Beck yang bukan tim Mountain Madness menjadikan mereka tidak diprioritaskan.

Disamping adegan yang menguras emosi, film ini menyematkan pesan bahwa pentingya hubungan antarpersonal ketika akan mendaki gunung, lalainya Hall dan Fischer untuk membentuk hubungan tersebut berakibat pada tidak adanya rasa solidaritas ketika terjadi hambatan.

Anatoli Boukreev menolong Sandy dan Tim 
Courtesy : Official Everest Trailer

Kalau di lihat secara seksama, film ini memiliki banyak pencerahan sekaligus kritik dalam dunia pendakian. Penonton diajak cerdas dalam mencermati film dan bukan hanya terkagum kagum diatas ketinggian terbang pesawat jet, serta berkobar-kobar keinginan untuk mendaki. Namun justru mencermati insight yang terpapar dalam drama durasi 2 jam tersebut, mulai dari teknik pendakian, peralatan yang digunakan, manajerial, hingga teknik evakuasi. Lihat juga bagaimana pembagian tugas yang detail dan rumit dalam merancang sebuah pendakian. Memang, karena pendakian itu bukan perkara menggapai puncak nan tinggi.

Film ini juga menegaskan bagaimana peralatan yang mahal serta perencanaan yang super matang, skenario evakuasi yang apik, masih belum bisa memberikan jaminan selamat dari guguran es di gunung  Everest. Semuanya tergantung alam yang mengatur, ia yang mempunyai hierarki. Itu sebabnya salah jika para pendaki khususnya yang sebagian besar justru membuat gunung sebagai alat kompetisi. Betul yang dikatakan Toli bahwa manusia selalu bersaing melawan gunung, namun gununglah yang selalu menjadi pemenangnya.

Demikian pula dengan Rob Hall yang telah menggapai 7 puncak tertinggi, serta Scott Fischer yang merupakan pendaki ulung tidak mengendapkan habis resiko yang terjadi di gunung. Alam memang tak di rancang untuk di kalahkan siapapun, namun alam dapat diantisipasi dengan persiapan super matang. Tetapi kembali lagi, alam tak bisa dilawan, sehingga pendaki sekelas Rob dan Scott harus meregang nyawa dihantam badai Everest yang ganas.

Kalau begitu, bagaimana dengan pendaki musiman, yang mendaki gunung tak setinggi Everest sehingga menyepelekan syarat dan kelengkapan pendakian? Apakah lalu anda berbangga hati ketika sampai di puncak Semeru misalnya, berfoto ria sambil membawa kertas dan tidak mengindahkan larangan untuk sampai di puncak? Lantas apakah anda ini merupakan gambaran pendaki yang baik?

Film Everest juga menampar muka pendaki khususnya di Indonesia, lihat saat adegan dimana Rob Hall memungut sampah di basecamp pendakian Everest. Film ini memberi kritik tentang sampah yang meracuni tanah Everest yang merupakan salah satu imbas komersialisasi gunung. Tapi rasanya tak hanya Everest, gunung yang lain juga memiliki nasib yang sama, termasuk Indonesia.

Gunung memang bukan semata diukur dari seberapa tinggi dan menjulangnya. Bukan pula diukur dari sulit mudahnya untuk didaki. Justru manusia yang mendakinya yang harusnya dijadikan catatan. Maka timbulah refleksi bagi kita, apakah gunung hanya akan di jadikan objek penakluk? atau dapat menjadi sahabat bagi manusia untuk mengguncah jatidiri?

Scott FIscher (Jake Gylenhall) 
courtesy : Canadaam.ctv.news.ca

-It's about Attitude not Altitude-

Kembalilah tentang bagaimana ego manusia, bagaimana  Doug Hansen memaksakan diri sampai puncak walaupun saat itu sudah jauh dari waktu yang direncanakan. Hingga akhirnya ia harus tewas diterjang badai di Hillary step. Lihat pula bagaimana sherpa Longsap yang terlewat memasang tali di Hillary Step, serta Sherpa Ang Dorje yang tidak menaruh oksigen di puncak selatan. Jadi, kalau yang lengkap saja masih terlewat, bagaimana yang mendaki seadanya? yakin bisa baik-baik saja? 

Secara khusus film ini memberikan efek dan kritik yang pedas dalam pendakian. Tidak hanya menyuguhkan gambar pemandangan puncak Everest yang wibawa, namun bagaimana begitu pentingnya sikap manusia terhadap alam. Mau bagaimanapun, alam akan menang melawan kita, jadi seyogyanya manusia yang harus tunduk haru terhadap alam.

Sebaiknya anda pemilik hobi yang sama dengan Hall dkk, jangan hanya menonton film berkelas jauh dibawah yang mengumbar umbar pemandangan indah serta alur romantisme ala pendaki, seperti film 5 cm. Hingga membuat alay-alay berbondong bondong mewek dan mendaki menunju Mahameru. Tontonlah Film Everest dan petik hikmahnya sehingga menjadi pendaki yang mahir rendah hati dan bijak.



foto ini diambil sebelum pendakian Everest pada tahun 1996 / in frame : Rob hall's Team 
Front row, left to right: Doug Hansen  Susan Allen, Jon Krakauer, Andy Harris, Rob Hall, Frank Fischbeck, Yasuko Namba.Back row, left to right: John Taske, Stuart Hutchison, Helen Wilton, Beck Weathers, Lou Kasischke, Mike Groom (courtesy :Hanaleip.wordpress.com (the caption)
 clutchofinspirations.files.wordpress.com)


*****












.

Sabtu, 15 Februari 2014

Kunang-kunang dan kenangan

Berbicara tentang kunang-kunang, Saya dulu begitu suka kunang-kunang, di desa simbah, masih sangat banyak kunang-kunang. Selepas magrib, saya pasti keluar rumah membawa plastik yang sudah dilubangi sebagai ventilasi sambil menunggu dibawah pohon sawo di kebun. Saya begitu percaya bahwa kunang-kunang adalah jelmaan kuku orang mati, dasar anak kecil ingusan, bukannya takut, malah saya mencari kemana hewan bercahaya itu berkumpul. Dahulu, saya memandangi mereka bisa sampai ber-jam-jam dengan pikiran yang mengawang.
Tapi entah sekarang, populasi mereka semakin memburuk, apalagi di kota besar, mungkin mereka sudah tak ada. Mungkin tak ada lagi tempat hijau, atau tak ada terlihat karena kalah dengan cahaya-cahaya sekitar yang terang, hmm... atau jaman sekarang, orang mati kukunya sudah dipotong habis? ahh,, entahlah.

Tak ubahnya kenangan, ia juga datang dan dicari, juga banyak diIlhami, bentuknya sama dengan kunang-kunang, mereka bercahaya ketika gelap. Saya memandangi mereka dengan pikiran mengawang, jika baik, ingin sekali kembali ke masa itu, dan jika buruk, boleh lagi kembali dan memperbaiki. Kenangan juga punya masa, mereka tak selalu hinggap terang di nirwana hati. ketika terjadi yang lebih indah, mereka akan bergeser dan memberi tempat kepada yang baru datang. ahh... sungguh mulia mereka. Semuanya tergantung bagaimana semua di taruh. Sama pula seperti kunang-kunang, ketika mereka ditaruh dengan benar, mereka akan tetap bercahaya, mungkin sejenak menghilang. tak lama mereka terang kembali. Tetapi jika terbiarkan populasi mereka padam dan hilang.



Jogyakarta, 16 Feb 2014
-Dialog dini hari-
beranda taman hati

Abu-Abu


" Jogja Monochrome" 
kata seorang teman di dalam kereta

punggawa ketika tiba :D

Mobil di pacu pada dini hari kemarin, saat itu lagu payung teduh berputar sendu melewati kota Pasuruan. Mata kami masih lengket tetapi tetap harus dipaksa, kami harus mengejar kereta yang sekarang disiplin. Memang, KAI menerbitkan perubahan yang semakin kentara. Semua terlihat lelah, tetapi tetap berusaha terjaga, seolah ingin mengumpulkan lelap untuk dibuang di dalam kereta.

Tetiba, jalanan mendadak berkabut, jarak pandang terbatas, mobil di gas perlahan mengikuti mobil di depan, kami mulai menerka, ada apakah? beberapa dari kami bilang berupa debu proyek, tetapi kemudian itu dipatahkan kabar dari Kelud bahwa abunya  beriring jatuh ke barat. Semua berubah kelam, terlihat seperti model sepia  pada aplikasi foto.

Pagi kali ini tak biasa, semuanya masih gelap, hingga keadaan sedikit reda di Surabaya, di sana hujannya lumayan tipis, tapi lumayan berdebu pula. waktu masih menunjukan 06.40. Beberapa dari kami mengembalikan mobil dan sebagian dari kami beristirahat di serambi stasiun Gubeng. Sesekali meng-update  informasi, beberapa sibuk bertanya keadaan Jogja. Kami semua sibuk bercerita tentang Kelud.

***

kata orang kehadiran gunung 1730m ini ada kaitannya dengan lembu Sura seorang tokoh legenda yang mewarnai Kabupaten kediri, Beliau pernah mengutuk : 

"Yoh, Kediri mbesok bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping, Yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, lan Tulungagung dadi kedung" 

ada cerita bahwa Lembu Sura melamar seorang putri Dyah Ayu Pusparani, putri seorang penguasa Majapahit. Karena tak sesuai harapan, sang putri menolak dengan cara halus. Tak beda dengan Roro Jonggrang cerita Prambanan, sang putri minta di buatkan sumur dalam semalam.

Karena perkembangan yang tak dikira sang putri, Ia mulai panik dan menangis. Raja yang merasa iba segera mengutus para prajurit untuk menutup sumur yang tengah digali sang Lembu. Mereka melempari batu dan menutup lubang-lubang. Sang Lembu meminta agar tidak ditutup, tetapi mereka tetap mengurug  bahkan semakin cepat supaya sang Lembu tidak segera naik. 

Tahu permintaannya tak di gubris, Lembu Sura mulai mengeluarkan "sepatannya" hingga lahirlah gunung Kelud dengan letusan yang menggelegarnya.

terlepas dari legenda ini, ternyata Kediri memiliki 11 kali, sementara Blitar merupakan daerah datar yang dikelilingi sungai dan danau, serta Tulungagung memiliki bendungan Wonorejo. Adakah kaitannya?


***

Suasana dalam rana


Kereta telah tiba, tetapi beberapa teman kami masih belum kembali dari rental mobil, sebagian kami tetap tenang dan mencoba menelfon mereka. Hingga akhirnya waktu menunjukan 07.55, mereka belum juga kembali. Ada yang panik, berusaha melobi petugas hingga berusaha menghubungi mereka. 
Dari jauh, 3 orang berlari tergopoh-gopoh menuju pintu kereta terdekat, segera masuk dan priiit  kereta diberangkatkan. Semuanya lega, sekaligus tak tega melihat mereka, tapi mau apa, begitulah yang terjadi. 
ah sudah, lupakan...

Kereta berangkat ke barat, diluar abu telah menyelimuti, walau tergolong tipis, kereta kami berselimut debu. Hingga akhirnya kereta terus ke barat, abunya tak disangka malah semakin menjadi. Banyak yang masuk melalui celah atas dan bawah kereta kami. Di dalam berdebu.

Singkat cerita, kami sampai di Jogja, abunya begitu tebal, banyak yang beranggapan lebih tebal dari Merapi kemarin, ahh.. tidak juga.. tetap sama. Jogja begitu berbeda, serasa kami seperti kembali di era Majapahit sesaat sebelum di hancurkan gunung Kelud pada legenda yang lain. Warnanya monochrome, benar kata seorang teman di kereta tadi. Abu di mana-mana jarak pandang terbatas, kota ini begitu lumpuh. Tapi tak mengapa, karena ini merupakan konsekuensi tinggal di negara super kaya, Indonesia. Ya toh?

-Jogjakarta, 15 Februari 2014-
ditemani "Diujung malam"
-payung teduh-






Selasa, 27 Agustus 2013

Oh Rambutku

1 bulan lalu saya tak sengaja melihat kiriman gambar dari seorang teman di kalimantan tengah yang ia kirim lewat e-mail. Tak ada yang istimewa dari sebuah gambar yang ia ambil dari google, hanya gambar seorang lelaki dengan rambut pirang gondrong. Ia adalah Dave Mustaine personel Megadeth.


Seperti itu gambar yang teman saya kirim. Dibawahnya ada sepucuk kalimat "sudah gondrong, bung?".  
Sesudah saya membacanya, tetiba saya ngeh kalau saya selalu terobsesi dengan rambut gondrong. Semuanya bermula saat saya membaca sebuah artikel tentang Rocker. Mereka semua terlihat keren dengan rambut gondrong mereka. Hal itu yang membuat saya terobsesi berat dan menganggap bahwa orang gondrong (read : hair rocker) adalah orang terkeren sejagat raya. (ha!). Salah satu kisah rambut gondrong yang saya tahu adalah kisah Led Zeppelin. Dahulu, mereka sempat dilarang manggung di Singapura karena rambut gondrong mereka. Pemerintah Singapura khawatir rambut gondrong mereka akan membawa dampak buruk bagi remaja di sana. 

Sayang, obsesi saya selalu terbentur peraturan norma dan himbauan. Pas jaman saya masih sd-smp-sma, mana boleh ada murid gondrong. 

Suatu kali, ketika sma kelas 1, saya iseng sok jadi pemberontak. Rambut saya gondrongkan sedikit  hingga hampir menutup telinga saya. 1 kali peringatan, saya abaikan, 1 kali operasi ketertiban saya ngumpet di kamar mandi hingga peringatan keras saya abaikan juga. Saya tertawa jumawa saat itu, seolah menjadi seorang pemberontak yang meluluh-lantahkan rezim kepala sekolah sma (halah!) 
Tak lama, 2 hari kemudian saya masuk "bui". Saya masuk ruang ketertiban karena rambut saya ini. Crap! rambut saya dicukur ngawur hingga sebagian pitak. Itu juga saya di cukur ditengah lapangan upacara saat istirahat. Fak!

hingga akhirnya...

Tuhan memang selalu memberikan kesempatan bagi umatnya yang bersabar. Saya memasuki bangku kuliah, jadi tak ada lagi aturan-aturan "dilarang gondrong" atau semacamnya. Asal bayar spp semuanya oke. Mana peduli dekan-rektor atau dosen tentang mahasiswanya yang gondrong. Tidaak.

Rambut saya sampai saat ini belum gondrong segondrong Dave Mustaine, belum bisa di headbang in. Sebahu saja belum ada. Saat ini saya masih membulatkan tekat dan mental menerima segala siksa derita dari ucapan orang tua (Lay!). Tapi ini obsesi, sepertinya masih eman-eman untuk mengambil keputusan memotong rambut.

Perjalanan sang rambut untuk mencapai moksa masih panjang, masih banyak ujian, contoh saja saat rambut posisi nanggung, itu akan menjadi momen menderita bagi saya. Mungkin label tambah jelek bisa tersemat di depan muka saya besok. duhdek..!

Tetapi, menjadi gondrong memang ada hukum alamnya. Setelah melalui ujian rambut nanggung menggimbal dan mencuat tak tahu arah, akan muncul akhirnya keindahan ragawi yang disebut GONDRONG.
hiiirrrr....